Kota Pekalongan — Mediainfopol.com
Nirtakowati (45), warga Kelurahan Panjangwetan, Kota Pekalongan, menyampaikan protes keras atas rencana lelang sertifikat tanah miliknya oleh Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan (KSPP) Syariah SM Nahdlatul Ulama (NU) Pekalongan. Ia menilai, sertifikat tersebut seharusnya telah dikembalikan sejak pelunasan pinjaman pertamanya beberapa tahun lalu.
Didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adhyaksa, Ormas Probojoyo, dan LSM Robinhood 23, Nirta mendatangi kantor koperasi yang berlokasi di kompleks Gedung Aswaja, Jalan Sriwijaya, Kamis (26/6/2025). Kedatangan mereka dimaksudkan untuk meminta klarifikasi langsung dari pihak manajemen terkait status agunan yang akan dilelang.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Nirta menjelaskan bahwa pada tahun 2013, ia bersama ibunya pernah mengajukan pinjaman sebesar Rp20 juta dengan jaminan sertifikat tanah. Pinjaman tersebut, menurutnya, telah dilunasi lebih cepat dari tenggat waktu.
Namun, koperasi disebut tidak segera mengembalikan sertifikat dengan dalih masih berada di notaris, dan berjanji akan menyerahkannya dalam waktu satu minggu.
“Setelah tiga bulan lebih menunggu, sertifikat tidak juga dikembalikan. Padahal pinjaman kami sudah lunas. Karena butuh modal lagi, saya dan suami kemudian mengajukan pinjaman baru sebesar Rp150 juta, dengan agunan yang sama,” ungkap Nirta.
Pinjaman kedua tersebut sempat berjalan lancar selama satu tahun sebelum usaha keluarga mereka terdampak kondisi ekonomi dan mengalami kebangkrutan. Akibatnya, pembayaran cicilan terhenti, dan kini sisa utang pokok yang masih tercatat tinggal sekitar Rp67 juta.
Nirta mengaku siap menyelesaikan kewajibannya dan telah mengupayakan pelunasan melalui penjualan aset jaminan secara mandiri. Menurutnya, nilai pasar tanah tersebut cukup untuk menutup sisa kewajiban yang belum terbayar.
Pinjaman kedua tersebut sempat berjalan lancar selama satu tahun sebelum usaha keluarga mereka terdampak kondisi ekonomi dan mengalami kebangkrutan. Akibatnya, pembayaran cicilan terhenti, dan kini sisa utang pokok yang masih tercatat tinggal sekitar Rp67 juta.
Nirta mengaku siap menyelesaikan kewajibannya dan telah mengupayakan pelunasan melalui penjualan aset jaminan secara mandiri. Menurutnya, nilai pasar tanah tersebut cukup untuk menutup sisa kewajiban yang belum terbayar.
“Kami hanya meminta waktu untuk menjual sendiri tanah itu, karena kami yakin nilainya masih cukup untuk menutup sisa utang. Tapi justru muncul ancaman lelang tanpa ada ruang untuk berunding terlebih dahulu,” ujarnya.
Sejak terjadi kredit macet, Nirta mengaku kerap mendapatkan tekanan dari pihak penagih utang, termasuk surat peringatan resmi. Ia menyayangkan sikap manajemen koperasi yang dinilai enggan membuka ruang mediasi. Bahkan, saat ia dan tim pendamping mendatangi kantor koperasi, tidak satu pun pengurus bersedia menemui mereka, dengan alasan sedang mengikuti rapat internal.
Hingga berita ini ditulis, pihak koperasi belum memberikan keterangan resmi. Tim redaksi Mediainfopol.com telah mengupayakan konfirmasi melalui sambungan telepon dan surat permohonan wawancara, namun belum mendapat tanggapan.
Perspektif Hukum: Hak Debitur atas Agunan
Dalam praktik lembaga keuangan, terutama koperasi syariah, status agunan yang telah melunasi kewajiban pokok seharusnya dikembalikan kepada pemiliknya. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian menegaskan bahwa pengelolaan agunan harus dilakukan secara transparan dan sesuai kesepakatan tertulis.
Sementara itu, dalam akad syariah, prinsip akad murabahah atau rahn mengharuskan lembaga pembiayaan untuk tidak menahan jaminan secara sepihak setelah kewajiban pokok nasabah terpenuhi. Penahanan sertifikat tanpa dasar hukum yang jelas berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap asas keadilan dan prinsip musyawarah dalam ekonomi syariah.
Jika benar agunan tidak dikembalikan pasca pelunasan pinjaman awal, dan kini kembali dijadikan objek jaminan atas utang kedua, maka terdapat celah hukum yang patut ditelusuri, termasuk kemungkinan adanya pelanggaran administrasi atau wanprestasi.
Catatan Redaksi:
Kasus ini mencerminkan pentingnya transparansi dan tata kelola yang akuntabel dalam sistem koperasi, terutama koperasi berbasis nilai-nilai syariah. Penanganan sengketa seperti ini seharusnya mengedepankan prinsip musyawarah, penyelesaian kekeluargaan, serta perlindungan terhadap hak anggota.
Redaksi RealitaPublik.id akan terus memantau perkembangan kasus ini dan menyajikan informasi terbaru bagi publik.
(Haryono)