Lamongan – mediainfopol.com

Lamongan kini tengah bergolak. Dunia pers di kabupaten ini seolah dikepung dari dua arah: dari luar oleh tekanan kekuasaan, dan dari dalam oleh oknum yang memperjualbelikan profesi wartawan untuk kepentingan pribadi.

Di tengah pusaran itu, muncul dua nama yang menjadi poros badai: Syaiful Anam (SA), Kepala Dusun Kauman Desa Tawangrejo, Kecamatan Turi — yang juga mengaku wartawan memorandumdisway.id — dan Ramlan (RM), anggota Shorenk Lamongan.

Kini, SA melaporkan Ramlan ke Polres Lamongan atas dugaan menghalangi kerja jurnalistik. Namun di balik laporan itu, terbuka tabir gelap: dugaan penyalahgunaan jabatan perangkat desa, manipulasi status wartawan, dan tekanan terhadap media lain.

Pada Senin, 13 Oktober 2025, penyidik Unit IV Polres Lamongan memanggil Ramlan untuk diperiksa atas laporan SA. Dalam pemeriksaan itu, Ramlan didampingi Ziwa, Ketua Dewan Pembina Shorenk Lamongan.

Usai pemeriksaan, Ziwa melontarkan pernyataan keras di hadapan awak media.

“Lamongan Darurat Pers! Bagaimana tidak, seorang kepala dusun aktif, dengan sembrono melaporkan anggota kami (Ramlan) dengan tuduhan menghalangi tugas jurnalistik, padahal Ramlan tidak melakukan pelanggaran hukum,” tegas Ziwa.

Ia menuntut agar Bupati Lamongan, Camat, dan Kepala Desa Tawangrejo segera menjatuhkan sanksi kepada SA yang diduga melanggar larangan rangkap profesi.

“Kami meminta Bupati dan Dewan Pers turun tangan! Jangan biarkan perangkat desa yang seharusnya netral malah mencoreng marwah jurnalistik,” tambahnya.

Penelusuran tim investigasi media menemukan bahwa SA aktif memperkenalkan diri di lapangan sebagai wartawan. Beberapa saksi menyebut ia kerap membawa nama medianya sendiri dan menekan jurnalis lain agar menulis berita sesuai kehendaknya.

“Dia sering ngaku wartawan, bawa nama medianya sendiri, terus perintah wartawan lain nulis berita yang dia mau. Kalau nggak nurut, bisa nggak dikasih akses info desa,” ungkap salah satu sumber yang enggan disebut namanya.

Sejumlah jurnalis independen menilai tindakan SA sebagai bentuk penyalahgunaan profesi dan kekuasaan.

“Wartawan gadungan yang bersembunyi di balik jabatan publik. Di luar bilang jurnalis, di kantor masih pegang SK pemerintah. Itu racun bagi kebebasan pers,” ujar seorang wartawan senior di Lamongan.

Dalam keterangan kepada wartawan, SA mengaku menjadi korban intimidasi.
Ia menyebut telah diancam oleh sekelompok orang agar menghapus beritanya berjudul “Program Chromebook Dinas Pendidikan Lamongan Juga Tercium Aroma Dugaan Korupsi” yang terbit 11 September 2025.

“Dia (R) datang dan bilang membackup Dinas Pendidikan. Dia minta berita saya ditakedown, bahkan mengancam kalau saya tidak menuruti,” kata SA usai pemeriksaan pada 7 Oktober 2025.

Namun, pernyataan itu justru menuai kritik tajam dari komunitas pers lokal. Mereka menilai laporan SA terhadap Ramlan bermuatan politis dan sarat kepentingan pribadi.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 menegaskan bahwa perangkat desa dilarang memiliki pekerjaan lain yang menimbulkan konflik kepentingan.

Pasal 51 huruf (f) Permendagri 83/2015 menyebut:

“Perangkat desa dapat diberhentikan apabila memiliki pekerjaan lain yang mengganggu tugasnya sebagai perangkat desa.”

Artinya, profesi wartawan yang menuntut independensi penuh tidak boleh dijalankan bersamaan dengan jabatan kepala dusun.

Bila terbukti, SA dapat dijatuhi sanksi administratif hingga pemberhentian sesuai Pasal 53 UU Desa.
Bahkan, tindakannya bisa mengarah ke penyalahgunaan jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP dengan ancaman pidana penjara 2 tahun 8 bulan.

Kasus SA vs Ramlan menjadi potret buram tentang kerapuhan moral pers daerah.
Fenomena wartawan rangkap jabatan kini disebut banyak pihak sebagai “mafia informasi tingkat desa” — di mana media dijadikan tameng untuk menekan, bukan menyuarakan kebenaran.

“Media dijadikan alat barter kekuasaan. Warga takut bicara karena khawatir namanya muncul di berita versi mereka,” kata seorang aktivis media rakyat Lamongan.

Menutup pernyataannya, Ziwa menegaskan:

“Pers bukan alat balas dendam. Jika kepala dusun masih bisa pakai rompi wartawan, yang rusak bukan hanya marwah jurnalis, tapi juga moral pemerintahan desa!”

Kasus ini bukan lagi sekadar adu laporan, melainkan cermin retak kekuasaan kecil yang mabuk peran.
SA bukan hanya pelapor — ia simbol bagaimana jabatan publik bisa berubah jadi senjata pribadi ketika etika mati dan hukum dibengkokkan.

Jika penegak hukum benar-benar netral, seharusnya SA juga diperiksa atas dugaan pelanggaran jabatan ganda, etika pers, dan penyalahgunaan wewenang.

“Di negeri di mana pena seharusnya menulis kebenaran, kini pena dipakai menusuk nurani.
Lamongan bukan sekadar darurat pers — Lamongan darurat moral.” Tandasnya.

By Man