Pekalongan – Mediainfopol.com | Jumat, 3 Oktober 2025, Kelurahan Krapyak, Kecamatan Pekalongan Utara, menjadi lokasi mediasi sengketa tanah yang melibatkan ahli waris keluarga almarhumah Mbah Umi dan almarhum Tajudin, Ali, serta Rifa’i. Kasus ini bermula pada 2010, ketika almarhum tiga bersaudara tersebut meminjam uang sebesar Rp16,5 juta dari almarhumah Mbah Umi. Pada saat itu, tidak ada perjanjian tertulis yang dibuat.
Kini, dengan meninggalnya para pihak utama, persoalan tersebut berlanjut pada ahli waris kedua belah pihak. Mediasi digagas oleh salah satu ahli waris pengganti almarhum Tajudin, Mohammad Izul Faqih, yang berinisiatif menyelesaikan masalah melalui koordinasi dengan pihak kelurahan. Lurah Krapyak, Banar Budi Rahardjo, menyambut baik inisiatif tersebut dan memanggil semua pihak untuk hadir pada 3 Oktober 2025.
Dalam mediasi tersebut, hadir ahli waris pengganti almarhumah Mbah Umi diwakili oleh Sholeh, pihak almarhum Tajudin diwakili oleh Mohammad Izul Faqih, dan pihak almarhum Ali diwakili oleh Rida. Proses mediasi dipimpin oleh Lurah Banar Budi Rahardjo dan didampingi oleh staf kelurahan bidang pemerintahan, Ibu Ani. Beberapa kesepakatan dicatat dalam bentuk surat tertulis.
Namun, mediasi ini mendapat sorotan dari pembina Komunitas Pemuda Krapyak (KAMPAK), yang menilai prosesnya kurang sempurna dan hasilnya tidak memiliki kekuatan hukum. Dalam pernyataannya di kediamannya, pria yang akrab disapa Bang Jo ini menekankan bahwa:
1. Mediasi tidak difasilitasi oleh mediator bersertifikasi, sehingga kesepakatan yang dihasilkan tidak memiliki kekuatan hukum.
2. Para pihak yang bermasalah sudah meninggal dunia, sehingga secara hukum prosesnya telah gugur. Para ahli waris pengganti sepenuhnya memiliki kebebasan untuk menyelesaikan persoalan tanpa tekanan.
3. Proses penyelesaian perkara seharusnya lebih menekankan aspek humanis dan agamis, tanpa menekan atau mendesak salah satu pihak.
4. Kesepakatan yang dicapai tidak memiliki hak eksekutorial, sehingga pihak ahli waris almarhumah Mbah Umi tidak dapat mengeksekusi jaminan secara sepihak.
Bang Jo juga meminta agar pemerintah daerah memberikan penguatan materi hukum bagi para lurah, sehingga memahami ruang lingkup mediasi dengan benar. Dengan pemahaman hukum yang memadai, proses mediasi bisa tetap mengedepankan mekanisme penyelesaian konflik masyarakat, sekaligus membuat peran lurah terlihat berwibawa dan piawai dalam menyelesaikan persoalan warganya.
“Kami berharap mediasi tidak menjadi preseden buruk bagi masyarakat. Aparat harus memahami hukum, agar penyelesaian sengketa dilakukan secara adil dan profesional,” tutup Bang Jo.
Haryono