Oleh: Wahyu Fahmi Rizaldy, S.H., M.H.
Bandung, 15 September 2025 – Tahun 2025 menjadi momen penting bagi industri sawit dunia. Uni Eropa mulai menerapkan aturan baru yang dikenal dengan nama European Union Deforestation Regulation (EUDR). Aturan ini mewajibkan setiap produk pertanian, termasuk minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO), bebas dari deforestasi.
Sekilas, tujuannya terdengar mulia: menjaga hutan dunia agar tetap lestari. Namun bagi Indonesia—produsen sawit terbesar di dunia—aturan ini membawa tantangan serius. Sawit menyumbang ratusan triliun rupiah setiap tahun dan menjadi sumber hidup jutaan petani. Kalau ekspor ditolak, dampaknya jelas akan besar, baik bagi negara maupun masyarakat kecil.
Selama ini respons Indonesia kerap terdengar keras: menilai aturan EUDR diskriminatif. Tapi di era global, sekadar protes tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah strategi hukum yang cerdas: bagaimana kepentingan nasional tetap terlindungi, tetapi komitmen global pada lingkungan juga dijalankan.
Kuncinya ada pada sertifikasi keberlanjutan. Indonesia sudah punya ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Jika diperkuat, dua sistem ini bisa menjadi tiket masuk ke pasar global. Bahkan, RSPO sudah diakui di Belanda sebagai standar yang memenuhi pengawasan pemerintah mereka. Artinya, jalan kompromi sebenarnya terbuka.
Masalah lain adalah pembuktian. Uni Eropa menuntut data detail: dari mana sawit berasal, apakah lahannya membuka hutan setelah Desember 2020, dan seterusnya. Ini bukan hal sederhana, apalagi rantai pasok sawit sangat kompleks.
Solusinya, Indonesia harus memperbaiki sistem perizinan lahan, memperkuat basis data perkebunan berbasis GIS (peta digital), dan mengintegrasikan data antar kementerian. Program SIKSA-W yang menjadi bagian dari ISPO harus ditingkatkan agar benar-benar bisa dipakai sebagai dasar hukum dan alat diplomasi.
Y
Yang juga penting: jangan sampai aturan ini hanya bisa dipenuhi perusahaan besar, sementara petani kecil tertinggal. Jika itu terjadi, mereka bisa kehilangan pasar dan terpuruk secara ekonomi.
Pemerintah perlu memberi insentif, pelatihan, bahkan dukungan modal agar petani kecil bisa memenuhi standar internasional. Tanpa itu, EUDR justru bisa memperlebar kesenjangan.
Kita tentu sadar, selain alasan lingkungan, ada juga kepentingan proteksi industri pertanian Eropa di balik EUDR. Karena itu, Indonesia perlu bersikap tegas tapi juga konstruktif. Bukan hanya menolak, melainkan membuktikan bahwa sawit kita bisa dikelola secara berkelanjutan, transparan, dan adil.
EUDR memang tantangan berat. Tapi kalau dihadapi dengan strategi hukum yang tepat, teknologi yang mumpuni, serta kebijakan inklusif untuk petani kecil, Indonesia bisa menjadikannya peluang.
Sawit Indonesia bisa tetap berjaya di pasar global, sambil menunjukkan bahwa kita mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan tanggung jawab menjaga bumi.
(WFR)