Bengkulu//Mediainfopol.com/ Kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam pengelolaan Mega Mall dan Pasar Tradisional Modern (PTM) Bengkulu terus menunjukkan perkembangan signifikan. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu, melalui tim penyidik Pidana Khusus (Pidsus), kembali melakukan langkah tegas dengan menyita sejumlah aset tanah dan bangunan milik PT Tigadi Lestari, perusahaan yang disebut berada di pusat pusaran korupsi.
Aset yang disita berada di kawasan strategis, tepatnya di belakang Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Bengkulu, hanya selemparan batu dari kompleks Mega Mall dan PTM. Tim penyidik langsung memasang empat plakat penyitaan di berbagai titik untuk menandai status hukum properti tersebut.
Kejati Bengkulu Victor Antonius Saragih,SH,MH, melalui Kasi Penkum Ristianti Adrinai dan Kasi Operasional Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Bengkulu, Wenharnol, penyitaan dilakukan berdasarkan hasil pelacakan terhadap harta kekayaan milik para tersangka yang terindikasi berasal dari tindak pidana korupsi dan TPPU.
Penyitaan ini sah berdasarkan putusan pengadilan dan surat perintah dari Kepala Kejati Bengkulu. Ada 22 bidang tanah yang kami sita. Seluruh aset ini kami duga kuat merupakan hasil pencucian uang. Namun, proses pendalaman masih terus berjalan,” ujar Wenharnol.
Penyitaan dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyitaan Nomor: PRINT-810/L.7/Fd.2/07/2025 tertanggal 16 Juli 2025 dan Penetapan Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor: 40/Pen.Pid.sus-TPK-SITA/2025/PN Bgl tanggal 15 Juli 2025.
Tiga Bersaudara, Satu Skandal
Dalam perkara ini, Kejati Bengkulu telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka utama, yang semuanya diketahui memiliki hubungan darah. Ketiganya adalah:
Kurniadi Benggawan – Direktur Utama PT Tigadi Lestari
Heriadi Benggawan – Direktur PT Tigadi Lestari
Satriadi Benggawan – Komisaris PT Tigadi Lestari
Ketiganya disebut berperan aktif dalam pengelolaan Mega Mall dan PTM serta pengalihan status lahan yang diduga menjadi awal mula terjadinya kebocoran PAD dan korupsi sistematis. Dalam pengembangan perkara, penyidik mendapati bahwa sebagian besar dana hasil korupsi dialihkan untuk pembelian aset atas nama pribadi dan perusahaan, sehingga mereka turut dijerat dengan pasal TPPU.
Kasus ini berakar dari perubahan status kepemilikan lahan Mega Mall dan PTM yang terjadi pada tahun 2004. Lahan yang semula berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik pemerintah, kemudian dialihkan menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Proses ini kemudian diikuti dengan pemecahan SHGB menjadi dua bagian — satu untuk mall, satu untuk pasar.
Namun, alih-alih digunakan untuk pengelolaan yang sehat, SHGB tersebut justru diagunkan ke berbagai bank oleh pihak ketiga. Ketika kredit bermasalah dan macet, SHGB kembali digadaikan ke bank lain, menciptakan tumpukan utang dan dugaan praktik manipulatif yang merugikan negara.
Lebih parah lagi, sejak berdirinya bangunan tersebut, pihak pengelola disebut tidak pernah menyetorkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas daerah. Tindakan ini menambah akumulasi kerugian negara yang hingga kini ditaksir mencapai hampir Rp200 miliar.
Kejati Bengkulu juga mengonfirmasi bahwa pelacakan aset milik para tersangka tidak hanya terbatas di wilayah Bengkulu. Sejumlah aset di luar daerah, terutama di Palembang, telah disita, dan proses inventarisasi terhadap properti serta rekening milik para tersangka masih terus dilakukan.
Kami sedang menyisir aset-aset yang terkait dengan hasil kejahatan. Beberapa sudah kami sita, lainnya masih dalam proses verifikasi legal dan administratif,” tambah Wenharnol.
Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengusut tuntas kasus ini, termasuk mengejar pihak-pihak lain yang diduga terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Kejati juga membuka peluang pengembangan perkara terhadap pihak perbankan, notaris, maupun pejabat yang diduga lalai atau terlibat dalam perubahan status tanah.
Kasus ini dinilai sebagai salah satu skandal korupsi terbesar di Bengkulu dalam dua dekade terakhir, dengan pola penguasaan aset publik yang berubah menjadi instrumen pencucian uang dan perusakan sistem pendapatan daerah.
(M.Harus ak)