Dulu Datang Saat Kampanye, Kini Pergi Saat Rakyat Menangis, Di Mana Engkau Bunda Ipuk?

 

BANYUWANGI, – Mediainfopol.com

Saat rakyat kecil mempertahankan ruang hidupnya, justru pemerintah yang dulu mereka pilih malah bersiap menggusur mereka dengan dalih “penataan kota”. Itulah yang kini dialami ratusan pelaku UMKM dari komunitas Banyuwangi Creative Market (BCM) yang selama bertahun-tahun tumbuh bersama program Car Free Day (CFD) di Taman Blambangan.

Mereka kini terancam digeser ke Jalan A. Yani, lokasi yang dinilai tidak layak, tidak strategis, dan tidak manusiawi. Bukan hanya karena minim potensi pasar, tapi juga menghilangkan denyut ekonomi kerakyatan yang terbukti mampu menggerakkan perputaran uang hingga Rp125 juta tiap pekan, dan Rp500 juta setiap bulan, tanpa sepeser pun bantuan dari APBD.

Yang lebih menyakitkan, munculnya isu relokasi tidak pernah dibicarakan secara terbuka sejak awal. Justru setelah gejolak publik mulai merebak dan pelaku UMKM menolak, barulah pejabat muncul satu per satu. Dua nama yang disebut paling awal bicara adalah Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Banyuwangi, Dwi Yanto, lalu menyusul Kepala Dinas Koperasi, Usaha Mikro, dan Perdagangan, Hj. RR. Nanin Oktaviantie, yang mendadak aktif pasca kisruh BCM CFD mencuat.

Hakim Said, SH, pendiri dan Ketua Rumah Kebangsaan Basecamp Karangrejo (RKBK) Banyuwangi, kepada media ini pada Jum’at (11/7/2025) malam, menyindir keras kemunculan mendadak para pejabat tersebut.
“Info yang muncul pertama saat gejolak BCM CFD adalah Pak Dwi Yanto, yang mengundang komunitas BCM serta menyampaikan relokasi di JL. A. Yani serta akan memfasilitasi tempat bahkan pembelinya, bahkan menunjukkan layout-nya CFD A Yani. Lalu disusul Kadiskop UM Perdagangan, Hj. RR. Nanin Oktaviantie, yang meminta komunitas BCM tidak boleh berjualan lagi di CFD Taman Blambangan.

Lucu, karena selama bertahun-tahun para pelaku UMKM bertahan sendiri tanpa APBD, tanpa pembinaan dari Asisten Perencanaan dan Pembangunan dan Diskop UM Perdagangan secara signifikan. Tapi giliran mau dipindah, mereka mendadak ‘peduli’ dan bicara berdalih soal penataan,” ungkap Hakim.

Menurut pria alumni Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan ke-2 Tahun 2006 di Universitas Jember, ini bukan sekadar persoalan lokasi, melainkan persoalan keadilan sosial dan keberpihakan. “Pejabat ekonomi mestinya paham, pasar tak bisa dipaksakan lahir di tempat kering. Perputaran uang BCM itu nyata dan organik. Bukan dibangun di balik meja atau simulasi power point,” tegasnya.

Hakim Said, tak segan menyentil pejabat yang menurutnya “lebih sibuk urus estetika kota untuk konten Instagram daripada memikirkan dapur rakyat kecil”. Ia pun mengajak para pengambil kebijakan untuk membayangkan menjadi pedagang kaki lima.

“Bangun dini hari, pasang tenda tengah malam, bawa dagangan dari rumah sambil menggendong anak. Lalu, ketika tempat yang sudah mereka bentuk dengan keringat ingin dirapikan, mereka disuruh minggir demi trotoar licin. Bisa setega itu?”

Ia pun menyayangkan sikap Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, yang dinilai sudah tidak sepekan dulu saat masih kampanye. “Dulu, Bunda Ipuk Fiestiandani rajin masuk kampung, turun ke pasar, menyapa emak-emak UMKM. Sekarang, rakyat datang memohon, tapi pintu tertutup. Ke mana Bundanya Rakyat itu saat anak-anaknya butuh perlindungan?!” tanya Hakim, yang juga pendukung Ipuk saat pilkada lalu.

Dia mengingatkan, banyak dari pelaku BCM dulunya merupakan pendukung loyal saat Ipuk Fiestiandani maju mencalonkan diri sebagai Bupati periode kedua. Tapi kini, justru mereka yang dilupakan dan dianggap pengganggu estetika kota.

Rencana relokasi ke Jalan A. Yani depan pemkab dinilai tidak manusiawi dan tidak strategis. Kawasan itu merupakan ruas jalan utama dan bukan titik yang tepat, bukan pula ruang terbuka nyaman seperti Taman Blambangan. Alih-alih penataan, ini justru pengusiran terselubung yang mengorbankan rakyat kecil demi proyek “penampakan”.

Hakim bahkan mengutip Surah Al-Ma’un ayat 1-3 sebagai tamparan moral bagi para pejabat: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.”

“Kalau kita dengan mudahnya menyingkirkan rakyat kecil dari ruang nafkahnya sendiri, hanya demi proyek taman yang rapi, jangan-jangan kita sudah termasuk golongan pendusta agama,” tegasnya.

Hakim juga mendesak DPRD Banyuwangi agar tak berdiam diri. “Dewan itu bukan pelengkap seremoni. Kalian digaji oleh rakyat untuk bicara ketika rakyat butuh dibela. Hari ini, UMKM BCM sedang menjerit. Apakah kalian masih punya telinga?” katanya.

Ia meminta agar anggota DPRD menyampaikan langsung kepada Bupati, bahwa suara rakyat tidak boleh diabaikan. Bahwa “Nang Kene Wae!” adalah seruan damai, bukan perlawanan anarkis.
Pembangunan sejati adalah pembangunan yang menyentuh hati. Menata tanpa menggusur. Melindungi tanpa mengorbankan. Jika Taman Blambangan yang cantik harus dibangun di atas air mata para pelapak, maka itu bukan revitalisasi, itu penggusuran estetik yang penuh ilusi.

 

 

(siswanto)