BCM Bukan Masalah, Tapi Solusi: Saatnya Pemkab Banyuwangi Berpihak pada UMKM, Bukan Estetika Semu

Oleh: Andi Purnama, ST., SH. MM.
Pengamat Kebijakan Publik dan Pembangunan

Banyuwngi, – Mediainfopol.com

Di tengah melemahnya daya beli masyarakat dan melambatnya sektor pariwisata serta kuliner, para pelaku UMKM di Banyuwangi masih berjuang untuk tetap bertahan. Mereka bukan hanya “survive/Continue To Live”, tapi terus berusaha tetap “agile dan adaptif” di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini. Dan ironisnya, semua ini dilakukan tanpa banyak bantuan pemerintah, namun murni dari upaya giat swadaya masyarakat kecil/mikro (warung kaki lima).

Salah satu contoh nyata dari inisiatif rakyat adalah Banyuwangi Creative Market (BCM). Kegiatan ekonomi rakyat yang setiap Minggu pagi di sekitar Taman Blambangan ini, telah tumbuh menjadi pengungkit ekonomi mikro wilayah Kota Banyuwangi, dengan omzet per hari yang bisa mencapai ratusan juta rupiah. Namun alih-alih dikembangkan, justru kini terancam “diamputasi” dengan dalih revitalisasi dan relokasi.

Pemkab Banyuwangi seharusnya tidak melihat BCM sebagai gangguan tata kota atau persaiangan usaha tidak sehat, tapi sebagai solusi ekonomi rakyat. Trendnya jelas sangat positif, hal ini dilihat dari daftar tunggu/waiting list pelapak terus bertambah, antusiasme pengunjung meningkat, dan sirkulasi uang nyata terserap masyarakat/pelaku usaha secara cash terjadi. Jika pemerintah jeli dan lebih membangun harapan, hal ini bisa menjadi ruang “akselerasi” penciptaan lapangan kerja baru yang selama ini hanya menjadi slogan dan janji politik.

Janji-janji penciptaan “lapangan kerja” yang digaungkan dalam setiap kampanye Bupati Banyuwangi, tak kunjung terlihat wujud secara konkretnya di tengah isu pembangunan strategik, Ironis justru inisiatif ekonomi yang berkembang dari bawah seperti kegiatan BCM, yang seharusnya mendapat dukungan penuh, malah terancam digusur dengan dalih tertentu. Apakah pemerintah lebih memilih mengejar “estetika semu” dengan mengorbankan perjuangan pelaku usaha kecil yang sekian lama bertahan dan trend positif , dari pada keberlanjutan ekonomi rakyat yang selama kepemimpinannya slogan umkm naik kelas, justru mengambil kebijikan tendensius dan merugikan?

BCM di Taman Blambangan bukan hanya soal berjualan, tapi bagian dari denyut ekonomi rakyat yang terbangun secara mandiri dan berjuang. Letak ruang publik yang mulai dianggap nyaman dengan berbagai sajian kuliner dan di jantung kota, telah dianggap sebagai ruang publik yang murah dan membahagiakan. Masyarakat dapat berolahraga di kawasan ini dengan nyaman dan hidup setiap akhir pekan. Bahkan sangat potensial dikembangkan ke ruas-ruas/segmen lanjutan di tempat sekitar lainnya, seperti sampai Kawasan Bangunan Cagar Budaya Inggrisan. Waktu akhir pekan yang dikembangkan BCM menjadi lebih panjang mulai Hari Sabtu, sehingga hal ini akan lebih besar dampak ekonomi yang tercipta, dan menjadi icon baru wisata murah di dalam Kota Banyuwangi.

Sejatinya kawasan sekitar Pendopo, masjid, Taman Sritanjung, Pasar, MPP, Gedung Juang, Inggrisan dan Taman Blambangan menjadi “Landamark Kota yang Unik” karena tidak semua kota/daerah, yang memiliki tata kota seperti Banyuwangi, sayang strategik ini belum mampu dalam mengkonsep ide gagasan brilian, daripada merombak tatanan ekonomi kecil berkembang baik untuk direlokasi, dengan mengorbankan effort perjuangan swadaya “mati hidup”.

Jika pemerintah ingin serius mengatur kawasan kota, lebih baik bongkar saja bangunan liar, seperti “Lorong Bambu” yang jelas melanggar aturan dan perundangan. Bangunan semi permanen itu berdiri di atas area pengawasan jalan/dawasja, yang dilindungi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kenapa pelaku UMKM yang justru memberi kontribusi ekonomi nyata malah dipinggirkan?

BCM harus dikembangkan, bukan dipersempit. Saatnya Pemkab Banyuwangi berpikir visioner dan inklusif. Keberpihakan pada rakyat kecil bukan sekadar lewat baliho dan pidato seremonial pencitraan, tapi ditunjukkan lewat kebijakan yang nyata. Jangan amputasi pertumbuhan ekonomi yang sudah dirintis rakyat. Justru fasilitasi, perluas, dan perkuat pengembangan lebih lanjut.

Karena ketika rakyat bergerak sendiri, dan pemerintah justru menghalangi, itu bukan pembangunan dengan tagline “UMKM naik kelas” justru dihambat dan dikebiri “perjuangan masyarakat usaha mikro kecil.

 

(siswanto)