Jangan Ulangi Gagal Tata Ruang: BCM Harus Tetap Nang Kene Wae!

 

Opini Publik

Oleh: Eny Setyawati, S.H.
Advokat dan Pemerhati Tata Kelola Publik

Banyuwangi – Mediainfopol.com

Creative Market (BCM) adalah denyut ekonomi rakyat. Ia tumbuh dari semangat swadaya, solidaritas sosial, dan ketekunan para pelapak kecil. Mereka bukan hanya berdagang, mereka menjaga ruang hidup publik agar tetap inklusif dan produktif. Ketika pemerintah daerah hendak merelokasi BCM ke kawasan Jalan Achmad Yani, tepat di depan Pemkab Banyuwangi, penolakan keras pun mencuat. Para pelapak tetap keukeuh dengan semboyan tegas: “Nang Kene Wae” (NKW), di sini saja, tetap di Taman Blambangan!

Rakyat sudah terlalu sering menjadi korban dari kebijakan ruang publik yang hanya indah di atas kertas, tapi gagal total di lapangan. Revitalisasi demi estetika visual, tanpa arah ekonomi yang jelas, hanya akan melahirkan ruang mati baru. Lihat saja daftar bangunan hasil proyek pemkab yang kini terbengkalai:

  • 1. Rusunawa yang mangkrak tanpa fungsi maksimal;
    2. Terminal Wisata Sobo yang sunyi tanpa aktivitas;
    3. Wisma Atlet lantai 4 yang berubah menjadi pusat informasi Geopark Ijen, ironisnya, malah tidak jadi penginapan atau sarana olahraga;
    4. Dormitori dengan status mengambang dan pengelolaan tak transparan;
    5. Bangunan penginapan di Kemiren yang tak difungsikan dengan optimal;
    6. Pemandian Wisata Osing yang pengelolaannya jauh dari harapan publik.

Semua ini menjadi bukti nyata bahwa Pemerintah Kabupaten Banyuwangi belum memiliki roadmap pengelolaan infrastruktur pasca revitalisasi yang konkret, terarah, dan berkelanjutan. Maka, sangat wajar bila para pelapak BCM, yang usahanya justru terbukti hidup, berkembang, dan menghidupi banyak keluarga, menolak dipindahkan ke tempat yang belum jelas skema dan prospeknya.

Revitalisasi Taman Blambangan bukan hal yang haram. Tapi jika justru mengorbankan denyut ekonomi mikro yang sudah teruji, maka patut dipertanyakan motif dan visinya. Apakah demi ruang hijau? Atau demi estetika proyek semata? Lebih-lebih, masyarakat tahu betul bahwa ruang-ruang publik yang sebelumnya direvitalisasi, ujung-ujungnya sepi, mangkrak, atau bahkan berubah fungsi.

BCM justru harus dijadikan model dan embrio pengembangan pusat UMKM lain, bukan malah digusur atau dipindah. Pemerintah seharusnya memberikan penguatan dari aspek destinasi, pasar, dan manajemen, bukan menggiring pelaku usaha ke tempat yang belum jelas daya dukungnya.

Ketika negara gagal menjamin keberlanjutan pasca pembangunan, maka rakyat wajib bertahan. Para pelapak BCM tidak sedang melawan negara. Mereka justru sedang menyelamatkan warisan ruang publik yang hidup dan relevan dengan kebutuhan masyarakat bawah.

Dan untuk itu, “Nang Kene Wae” bukan sekadar jargon. Ia adalah bentuk kesadaran rakyat untuk tetap berada di ruang yang nyata, produktif, dan menghidupi.

 

 

(siswanto)