Rejang Lebong//Mediainfopol.Com/ Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) menggelar rapat kutei guna membahas penganugerahan gelar adat bagi Bupati Rejang Lebong, HM Fikri, SE, MAP, dan istrinya, serta Wakil Bupati, Dr. Hendri, SSTP, MSi, dan istrinya. Rapat yang berlangsung di Ruang Pola Pemkab, Jumat (28/2) pukul 08.30–11.00 WIB, dihadiri Staf Ahli Bupati Andhy Aprianto, SE, Kadis Dikbud Drs. Noprianto, MM, para camat, ketua BMA desa dan kelurahan, serta tim transisi bupati-wakil bupati.
Pemberian gelar adat bagi pemimpin daerah merupakan tradisi yang mencerminkan penghormatan masyarakat terhadap pemimpin mereka. Staf Ahli Bupati, Andhy Aprianto, menegaskan bahwa gelar adat ini adalah sebuah anugerah kehormatan yang diharapkan membawa manfaat bagi kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati.
“Semoga gelar adat yang diberikan ini bukan sekadar seremoni, tetapi menjadi simbol kehormatan yang mempererat hubungan pemimpin dengan masyarakat adat,” ujarnya.
Senada dengan itu, Kadis Dikbud Drs. Noprianto, MM, menekankan bahwa rapat kutei kali ini bertujuan menetapkan gelar yang tepat.
“Pemberian gelar adat ini juga menjadi bagian dari agenda budaya. Kita ingin memastikan bahwa dalam Pekan Budaya HUT Kota Curup 2025, bupati dan wakil bupati beserta istri sudah menyandang gelar adat tersebut,” katanya.
Namun, pertanyaannya: apakah penganugerahan ini memang sebuah penghormatan yang benar-benar berakar pada tradisi, atau justru hanya menjadi formalitas belaka?
Ketua BMA Rejang Lebong, Ir. Ahmad Faizar, MM, menegaskan bahwa BMA ingin melibatkan seluruh perangkat adat dalam penentuan gelar ini. Oleh karena itu, seluruh BMA desa dan kelurahan dari 15 kecamatan diberi kesempatan untuk mengusulkan gelar yang layak diberikan.
“Kami ingin memastikan gelar adat yang dianugerahkan benar-benar memiliki otentisitas sejarah. Karena itu, kami memberi waktu kepada BMA desa dan kelurahan untuk merembukkan usulan mereka dan menyerahkannya ke BMA kabupaten paling lambat 15 Maret 2025,” jelasnya.
Namun, meskipun keterlibatan BMA desa dan kelurahan dianggap sebagai langkah demokratis, BMA kabupaten sebenarnya telah menyiapkan lima gelar adat untuk bupati dan wakil bupati beserta istri. Hanya saja, Ahmad Faizar belum bersedia mengungkapkan detailnya.
“Nantinya akan ada panitia seleksi yang menilai usulan dari BMA desa dan kelurahan. Gelar yang diberikan harus berasal dari kesepakatan bersama, bukan keputusan sepihak,” tambahnya.
Namun, apakah ini benar-benar demokratis? Jika BMA kabupaten sudah menyiapkan lima gelar, apakah usulan dari tingkat desa dan kelurahan hanya sekadar formalitas?
Meski penganugerahan gelar adat ini mendapat dukungan, ada pula kritik dan keraguan dari beberapa tokoh adat.
Perwakilan BMA Kelurahan Batu Galing, Anton, menilai bahwa pemberian gelar adat ini terlalu cepat dan sebaiknya didasarkan pada evaluasi kinerja terlebih dahulu.
“Sebaiknya kita nilai dulu kinerja, etika, dan perilaku pemimpin kita. Jangan terburu-buru. Jika memang layak, barulah gelar adat diberikan dalam acara kedurei agung yang disaksikan masyarakat luas,” tegasnya.
Pandangan serupa disampaikan oleh Riduan Khalik, yang menyebutkan bahwa pemberian gelar adat ini sebaiknya ditinjau ulang.
“Jangan sampai penganugerahan gelar adat hanya menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap ada pemimpin baru. Gelar adat seharusnya memiliki makna yang lebih dalam, bukan hanya sekadar seremonial pergantian jabatan,” katanya.
Namun, Ahmad Faizar menegaskan bahwa kepengurusan BMA masih sah hingga Maret 2026, sehingga memiliki wewenang penuh untuk melakukan penganugerahan ini.
“Masa jabatan BMA tidak berakhir bersamaan dengan periode bupati. Kepengurusan baru akan dibentuk dalam Musda BMA 2026,” jelasnya.
Dalam rapat tersebut, Riki Tewel, anggota tim transisi Fikri-Hendri, mengungkapkan hasil penelusuran garis keturunan HM Fikri. Bupati diketahui merupakan keturunan ke-11 dari Djenaris, tokoh kutei Selupu Rejang dari Cawang Lekat.
Riki juga mengingatkan bahwa dalam sejarah Rejang Lebong, hanya empat tokoh yang pernah menerima gelar adat di zaman Belanda, yaitu.
Abdul Hamid dari Marga Selupu Rejang dengan gelar “Raja Jaya Sempurna”.
HM Arif dari Marga Bermani Ulu dengan gelar “Depati Tiang Alam”.
H. Ali Asar dari Marga Juru Kalang dengan gelar “Depati Rajo Besak”.
Kapidin dari wilayah Sindang dengan gelar “Depati Mangku Negeri”.
“Dulu, gelar adat diberikan dengan landasan kuat, baik dari keturunan maupun kontribusi bagi masyarakat. Jika gelar adat diberikan setiap kali ada pemimpin baru, apakah ini masih sejalan dengan nilai-nilai adat kita?” ucapnya.
Penganugerahan gelar adat bagi Bupati dan Wakil Bupati Rejang Lebong beserta istri menjadi langkah besar dalam pelestarian tradisi. Namun, apakah ini benar-benar penghormatan yang tulus atau sekadar formalitas?
Di satu sisi, ada harapan bahwa gelar adat ini akan memperkuat hubungan pemimpin dengan adat dan budaya setempat. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan besar: Apakah pemberian gelar adat ini masih memiliki makna yang sama seperti dulu?
Dengan berbagai perbedaan pendapat, keputusan akhir tetap berada di tangan BMA kabupaten dan perangkat adat desa serta kelurahan. Proses seleksi dan penentuan gelar masih berlangsung hingga 15 Maret 2025, dan masyarakat akan menunggu apakah penganugerahan ini benar-benar mencerminkan nilai-nilai adat yang sesungguhnya.
(M.Harus ak)
Sumber: Media Center Rejang Lebong