BOJONEGORO,mediainfopol.com
Arena politik Desa Deling, Kecamatan Sekar, Kabupaten Bojonegoro, perlahan bergerak meninggalkan sunyinya. Ia tak lagi sekadar urusan administrasi pengisian jabatan, melainkan menjelma ruang perbincangan—di teras rumah, di warung kopi, di sudut-sudut sawah yang mulai menguning. Pemilihan Kepala Desa Antar Waktu (PAW) yang semula diperkirakan berjalan datar, kini berdenyut dengan makna.
Kamis, 27 November 2025, menjadi hari yang mengubah irama itu. Di meja pendaftaran bakal calon, hadir sosok yang tak banyak diperkirakan: Agung Mahfudhori—jurnalis investigatif media nasional E-Sorot, yang lebih akrab dipanggil Lek Agung. Ia datang tanpa hiruk-pikuk iring-iringan, tanpa pengeras suara, tanpa janji yang berlebihan. Hanya satu kalimat yang ia titipkan, pelan namun menetap di ingatan warga:
“Kanggo wong Deling.”
Sejak saat itu, peta politik desa bergeser. Lek Agung menjadi bakal calon ketiga, berdiri sejajar dengan dua nama yang sudah lama akrab di benak warga: Neles Sunaryo dan Didik Priowan, keduanya mantan Kepala Desa Deling—figur berpengalaman dengan jejak panjang dan jaringan yang telah terbangun bertahun-tahun.
Namun yang menarik, kehadiran Lek Agung tidak menyalakan api pertarungan. Ia justru menghadirkan jeda—ruang hening untuk berpikir.
Slogannya sederhana, nyaris bersahaja. Tetapi di balik “Kanggo wong Deling”, tersimpan tafsir kepemimpinan yang dalam: bahwa desa bukan panggung kekuasaan, melainkan ruang pengabdian. Bahwa kepala desa bukan pemilik arah, melainkan penjaga kepentingan bersama.
Meski berdomisili di Desa Ngorogunung, Kecamatan Bubulan, Lek Agung menegaskan satu hal: niatnya tidak berangkat dari alamat, melainkan dari keberpihakan.
“Menjadi kepala desa itu bukan tentang menang atau kalah,” ujarnya suatu sore.
“Ini soal amanah. Desa harus dilayani dengan jujur, adil, dan terbuka. Tidak ada warga kelas satu atau kelas dua.”
Kalimat itu tidak meluncur sebagai pidato. Ia hadir seperti percakapan—tanpa nada menggurui, tanpa bayang-bayang serangan. Sebuah ajakan untuk melihat Pilkades bukan sebagai arena saling menyingkirkan, melainkan sebagai musyawarah masa depan.
Dalam kearifan Jawa, kepemimpinan disebut ngemong—mengasuh, merawat, memelihara. Bukan menguasai. Bukan memerintah dari kejauhan. Ruh inilah yang coba dihidupkan Lek Agung dalam langkahnya.
Latar belakangnya sebagai jurnalis investigatif memberi lapisan makna tersendiri. Bertahun-tahun ia berdiri di pinggir kekuasaan, mengamati dengan jarak kritis, mendengar suara-suara kecil yang kerap terpinggirkan. Transparansi baginya bukan jargon, melainkan kebiasaan. Akuntabilitas bukan ancaman, melainkan fondasi.
Modal itu bukan untuk menakut-nakuti siapa pun. Justru sebaliknya: untuk memastikan pemerintahan desa kelak berjalan terang, dapat diawasi, dan berpihak pada kepentingan bersama—bukan segelintir.
Kini, Pilkades PAW Deling tak lagi semata memilih figur. Ia berubah menjadi cermin perenungan kolektif:
akankah desa bertahan pada pola lama yang telah dikenal, atau membuka ruang bagi pendekatan baru yang menawarkan kesegaran, kejujuran, dan kesadaran kritis?
Pada akhirnya, seperti yang berulang kali ditegaskan Lek Agung, keputusan sepenuhnya berada di tangan warga. Ia menyerahkan segalanya pada kebijaksanaan masyarakat Deling—tanpa tekanan, tanpa rayuan berlebihan.
Karena bagi seorang pemimpin desa, filosofi tertinggi bukanlah kekuasaan,melainkan pengabdian. Dan bagi Deling, pilihan itu kelak akan berbicara sendiri,
kanggo wong Deling.