Oleh: Wahyu Fahmi Rizaldy
Dosen Hukum Lingkungan Universitas Teknologi Surabaya
Mediainfopol.com-Surabaya Jumat (21/11/2025) Dalam lanskap hukum Indonesia kontemporer, tidak ada reformasi yang lebih radikal—dan sekaligus mengkhawatirkan—selain perombakan rezim perizinan lingkungan melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan turunannya. Narasi besar “memangkas birokrasi” dan “karpet merah investasi” telah melahirkan sistem Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA). Di permukaan, ini adalah kemenangan efisiensi digital. Namun, jika dibedah lebih dalam, kita sedang menyaksikan dekonstruksi sistematis terhadap benteng perlindungan ekologis kita. Izin lingkungan, yang dulunya sakral sebagai instrumen “veto” terhadap perusakan alam, kini tereduksi menjadi sekadar persyaratan administratif di dalam algoritma perizinan berusaha.
Reduksi Makna: Dari “Izin” Menjadi “Persetujuan”
Pergeseran terminologi dalam UU No. 6 Tahun 2023 (penetapan Perppu Cipta Kerja) bukan sekadar semantik, melainkan pergeseran paradigma politik hukum. Terminologi “Izin Lingkungan” telah dihapus dan diintegrasikan menjadi “Persetujuan Lingkungan” yang merupakan prasyarat penerbitan Perizinan Berusaha.
Secara teoretis, perubahan ini mengubah posisi hukum lingkungan. Sebelumnya, dalam rezim UU No. 32 Tahun 2009 (PPLH), izin lingkungan berdiri sendiri sebagai legal standing yang kuat. Jika izin lingkungan dicabut, kegiatan usaha mati. Kini, dengan integrasi ke dalam OSS, posisi tawar aspek lingkungan melemah. Ia “hanya” menjadi sub-sistem dari izin usaha. Logika yang terbangun adalah logika fasilitasi, bukan proteksi.
Data dari Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan lonjakan penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang masif pasca-implementasi OSS-RBA. Ribuan izin terbit dalam hitungan menit untuk risiko rendah dan menengah. Efisiensi ini patut diapresiasi dari kacamata ekonomi, namun menjadi alarm bahaya dari kacamata ekologi. Pertanyaannya: mungkinkah screening dampak lingkungan dilakukan secara teliti dalam hitungan jam atau menit oleh mesin, tanpa verifikasi lapangan yang memadai?
Mitos Standarisasi dan Kebutaan Ekologis
Sistem OSS bekerja dengan logika generalisasi dan standarisasi. Indonesia, dengan keragaman ekosistem dari karst di Jawa, gambut di Sumatera, hingga hutan hujan tropis di Papua, dipaksa masuk ke dalam kotak-kotak baku Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).
Kelemahan fatal dari sistem sentralistik ini adalah hilangnya konteks lokal (local ecological knowledge). Sebuah aktivitas pertambangan pasir mungkin dinilai “Risiko Menengah” secara umum di dalam sistem. Namun, jika lokasi tersebut berada di daerah tangkapan air (catchment area) yang kritis bagi ribuan petani desa, risikonya seharusnya menjadi “Sangat Tinggi”. Algoritma OSS sering kali buta terhadap nuansa sosiologis dan ekologis mikro ini.
Akibatnya, daerah kehilangan otonomi untuk memproteksi wilayahnya. Dinas Lingkungan Hidup di daerah sering kali hanya menjadi penonton ketika izin diterbitkan oleh pusat melalui sistem elektronik, padahal merekalah yang akan menanggung beban bencana ekologis jika terjadi kegagalan sistem.
Penyempitan Partisipasi Publik: Demokrasi yang Terpinggirkan
Salah satu kemunduran paling signifikan dalam politik hukum ekologis baru ini adalah redefinisi “masyarakat”. Dalam rezim sebelumnya, partisipasi publik dalam penyusunan AMDAL melibatkan pemerhati lingkungan, LSM, dan masyarakat luas yang peduli. UUCK mempersempit definisi ini secara drastis hanya menjadi “masyarakat yang terkena dampak langsung”.
Ini adalah bentuk pembungkam partisipasi yang halus namun efektif. Dalam banyak kasus sengketa lingkungan, masyarakat terdampak langsung sering kali berada dalam posisi asimetris—kurang informasi, tertekan secara ekonomi, atau terintimidasi. Peran NGO dan aktivis lingkungan sebagai pendamping (bukan pihak terdampak langsung) dinihilkan dalam proses formal penyusunan dokumen lingkungan.
Hilangnya ruang partisipasi substantif ini mengubah AMDAL dari dokumen ilmiah-sosial menjadi dokumen formalitas pesanan. Ketika partisipasi publik dipangkas, fungsi check and balances dari masyarakat sipil hilang. Izin menjadi produk monolog antara pengusaha dan negara, tanpa melibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan atas tanah dan air.
Pengawasan Pasca-Izin: Macan Ompong?
Pemerintah berargumen bahwa meski perizinan dipermudah di depan (pre-audit), pengawasan akan diperketat di belakang (post-audit). Logika “Ultimum Remedium” (sanksi pidana sebagai upaya terakhir) kembali dikedepankan, menggeser pendekatan “Primum Remedium” (pidana sebagai upaya utama) yang sempat menguat di UU 32/2009.
Namun, fakta lapangan berbicara lain. Rasio jumlah inspektur tambang dan pengawas lingkungan hidup berbanding terbalik dengan jumlah izin yang diterbitkan oleh mesin OSS. Bagaimana mungkin segelintir pengawas dapat memonitor ribuan aktivitas usaha yang izinnya terbit otomatis? Tanpa pengawasan yang kuat, kepatuhan terhadap standar lingkungan hanyalah ilusi di atas kertas (atau layar komputer).
Kasus-kasus pencemaran udara di Jabodetabek atau kerusakan sungai akibat limbah industri yang berulang menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan dan penegakan hukum kita masih tumpul. Mengandalkan post-audit tanpa memperkuat kapasitas institusi pengawas sama saja dengan membiarkan kerusakan terjadi terlebih dahulu, baru kemudian sibuk memadamkan api.
Arah Baru: Mengembalikan Kedaulatan Lingkungan
Integrasi perizinan lingkungan ke dalam OSS tidak boleh dimaknai sebagai subordinasi ekologi terhadap ekonomi. Kita memerlukan koreksi arah politik hukum.
Pertama, Desentralisasi Verifikasi. Meskipun sistem perizinan terpusat di OSS, verifikasi kelayakan lingkungan harus tetap melibatkan pemerintah daerah secara substantif, bukan sekadar notifikasi. Daerah harus memiliki hak veto jika lokasi usaha berada di zona ekologis kritis.
Kedua, Perluasan Kembali Partisipasi. Definisi partisipasi publik dalam PP No. 22 Tahun 2021 harus direvisi atau ditafsirkan secara progresif oleh pengadilan untuk memberikan ruang bagi actio popularis atau gugatan organisasi lingkungan demi kepentingan generasi mendatang.
Ketiga, Transparansi Data Mutlak. Dokumen Persetujuan Lingkungan dan rincian teknisnya harus dapat diakses publik secara terbuka dalam sistem OSS. Transparansi adalah satu-satunya cara masyarakat dapat membantu pemerintah melakukan pengawasan.
Investasi adalah kebutuhan negara, namun kelestarian lingkungan adalah napas kehidupan bangsa. Jangan sampai demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi dan kemudahan berbisnis, kita mewariskan bentang alam yang rusak karena izin lingkungan telah kehilangan “gigi”-nya. Sistem boleh digital, namun hati nurani pembuat kebijakan harus tetap berpijak pada bumi.(Tim)