Smart City, Dumb Governance: Kritik Tajam untuk Negeri Seribu Plt

Oleh: Hakim Said, S.H.
Ketua Firma Hukum Rumah Advokasi Kebangsaan Banyuwangi (RAKB)

Banyuwangi – Mediainfopol.com

Seakan punya resep baru dalam memaknai tata pemerintahan: satu jabatan, seribu pelaksana tugas. Dari kepala dinas hingga kepala sekolah, dari camat hingga kepala bidang, semuanya ramai-ramai memakai seragam “Plt”.

Tentu, ini bukan parade jabatan kosong yang lucu-lucuan. Ini potret nyata betapa sistem pemerintahan daerah telah kehilangan kepastian hukum dan arah meritokrasi.

Padahal, dalam konstitusi birokrasi Indonesia, tidak ada satu pun pasal yang menoleransi jabatan sementara permanen.

Jika dibiarkan, Kabupaten Banyuwangi bisa dicatat sejarah sebagai “daerah dengan jumlah Plt terbanyak di Indonesia”. Ironinya, sebagian dari mereka menjabat lebih dari enam bulan, bahkan ada yang lebih dari setahun, bahkan bertahun-tahun tanpa SK definitif.

Padahal, Surat Edaran BKN Nomor 2 Tahun 2019 sudah terang benderang menyebut: “Plt hanya boleh menjabat maksimal enam bulan.”

Lebih dari itu, tindakan Plt yang ikut menandatangani mutasi pegawai, mengatur proyek, atau menyusun kebijakan anggaran, secara hukum dapat dinyatakan tidak sah.

Di atas kertas, semua tampak rapi. Tapi di balik meja birokrasi, ada pelanggaran asas hukum yang dibiarkan hidup sehari-hari.

Pertanyaannya sederhana: jika semua jabatan diisi Plt, lalu siapa yang benar-benar berwenang?

Kita sedang hidup di masa ketika pelaksana tugas bisa mengambil keputusan strategis, tanpa pernah benar-benar diberi mandat penuh.

Ini bukan sekadar kesalahan administrasi, ini maladministrasi sistemik.
Dalam bahasa hukum, disebut “abuse of power” atau penyalahgunaan wewenang.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor menyebut tegas:

“Setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan karena jabatan yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana penjara maksimal 20 tahun.”

Bayangkan, bagaimana memastikan akuntabilitas keuangan daerah jika pejabat penanggung jawabnya sendiri hanyalah Plt?

Sistem merit, yang menjadi ruh UU ASN, menegaskan bahwa jabatan harus diisi berdasarkan kompetensi, bukan kedekatan.

Namun realitas Banyuwangi hari ini menunjukkan sebaliknya. Plt justru sering menjadi “parkir sementara” bagi loyalis politik atau pegawai yang sedang menunggu waktu promosi.

Dalam hukum kepegawaian, praktik semacam ini termasuk penyimpangan prinsip merit, dan dapat dikenai sanksi administratif dari BKN dan KASN.

KASN sendiri sudah berulang kali mengingatkan:

“Pengisian jabatan yang terlalu lama oleh Plt tanpa seleksi terbuka melanggar asas profesionalitas.”

Sayangnya, peringatan itu seolah berlalu tanpa gema di Pendopo Sabha Swagata.

Secara yuridis, Plt tidak boleh mengambil keputusan dalam hal kepegawaian, keuangan, maupun kebijakan strategis. Tapi faktanya, di Banyuwangi banyak Plt justru menjadi “raja kecil” di kantornya masing-masing.

Mereka menandatangani SK, melakukan mutasi, bahkan mengatur anggaran proyek. Semua berjalan seolah normal.

Padahal, setiap tindakan tanpa dasar hukum yang sah adalah batal demi hukum.
Dan lebih parah, jika keputusan itu berdampak pada anggaran, maka bisa berujung pada dugaan tindak pidana korupsi.

Tidak bisa tidak, tanggung jawab ini kembali ke meja Bupati Banyuwangi sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
UU ASN Pasal 69 tegas menyebut:

“Pejabat Pembina Kepegawaian bertanggung jawab menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS.”

Dengan demikian, membiarkan Plt berlarut-larut sama artinya membiarkan pelanggaran hukum administratif terjadi di depan mata.

Jika pembiaran ini disengaja, atau justru digunakan untuk mengatur loyalitas jabatan, maka konsekuensinya bukan hanya etik, tetapi bisa masuk ke ranah pidana.

Di sinilah letak ironi Banyuwangi: daerah dengan slogan “Smart City” tapi praktik birokrasi masih penuh taktik catur politik.
Jabatan bukan lagi soal kemampuan, tapi soal siapa yang bisa lebih lama menunggu giliran.

Sementara rakyat, ASN, dan sistem pelayanan publik, menjadi korban dari permainan jabatan yang tak pernah pasti.

Kita patut bertanya: apakah Banyuwangi sedang membangun pemerintahan berbasis hukum, atau sekadar mengelola kekuasaan berbasis kenyamanan?

Sudah waktunya pemerintah daerah berhenti menjadikan status Plt sebagai instrumen kekuasaan.
Birokrasi tidak boleh dikendalikan dengan surat tugas sementara, karena rakyat tidak butuh pejabat sementara, rakyat butuh kepastian.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin Ombudsman RI atau KASN akan turun tangan, dan publik akan kehilangan kepercayaan pada sistem birokrasi Banyuwangi.

Negeri yang katanya “semakin maju” ini justru akan dikenang sebagai negeri seribu Plt, bukan karena kemajuan, tetapi karena kegamangan.

 

(Siswanto)