Surabaya,mediainfopol.com 18 September 2025
Pernyataan Kepala Desa Sukorejo, Kecamatan Loceret Nganjuk Jawa Timur, di TikTok yang mengajak menolak media dan LSM dengan ancaman kekerasan, bukan sekadar kelalaian berucap. Itu adalah sinyal bahaya bagi demokrasi lokal.

Dalam sistem negara hukum, pejabat publik semestinya menjadi teladan dalam menjunjung keterbukaan dan akuntabilitas. Namun, ucapannya justru seolah menempatkan kepala desa sebagai “penguasa kecil” yang bebas menghalangi kerja pers, bahkan menganjurkan main hakim sendiri.

Jika ucapan ini dibiarkan, ia bisa menjadi preseden buruk: kepala desa lain merasa sah menolak wartawan, bahkan dengan cara intimidatif. Padahal, kebebasan pers adalah pilar demokrasi. Menghalangi kerja jurnalistik sama saja melemahkan kontrol publik terhadap pemerintah.

Ajakan untuk “meneriaki maling” dan “menggebuki wartawan” bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga memperlihatkan mentalitas kekuasaan yang jauh dari prinsip pelayanan publik. Kepala desa dipilih rakyat, bukan untuk menebar ketakutan, melainkan untuk mengayomi dan melayani.

Konstitusi jelas menjamin kebebasan pers (Pasal 28E ayat 3 UUD 1945), sementara UU Pers memberikan perlindungan terhadap jurnalis. Ucapan pejabat publik yang mendorong pelanggaran terhadap aturan ini adalah tamparan keras bagi negara hukum.

Pemerintah Kabupaten Nganjuk tidak boleh tinggal diam. Klarifikasi, evaluasi, hingga langkah hukum bila perlu harus ditempuh. Bukan untuk mempermalukan, melainkan untuk memastikan bahwa pejabat desa memahami batas kewenangan dan etika jabatan.

Kepala desa adalah wajah negara di tingkat paling bawah. Ketika wajah itu ditampilkan dengan gaya preman, maka demokrasi lokal berada di ambang degradasi. Menormalisasi ucapan seperti ini berarti meruntuhkan tatanan yang selama ini diperjuangkan: keterbukaan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hukum.(Redaksi)

By Man