Mojokerto, Mediainfopol.com-
Langit Dusun Guyangan, Desa Madureso, Kecamatan Dawarblandong, Mojokerto, tampak lebih muram dari biasanya. Usai Maghrib, warga mulai berdatangan ke rumah duka almarhum H. Mudjito. Malam itu, mereka berkumpul untuk mengenang 40 hari kepergian sosok yang semasa hidupnya lebih dikenal karena tindakan daripada ucapan.

H. Mudjito bukan orang yang suka menonjolkan diri. Namun siapa pun yang pernah bersinggungan dengannya, tahu bahwa ia adalah pribadi yang kokoh dalam prinsip dan lembut dalam tutur. Ia adalah ayah dari Sulistiyanto, atau dengan sapaan akrab bang Tyo — Ketua DPP LSM GEMPAR, yang dikenal sebagai aktivis vokal dalam isu-isu sosial dan pengawasan anggaran publik.

“Romo bukan orator, tapi sikap hidupnya lebih lantang dari pidato mana pun,” ucap Tyo.

“Dari beliau saya belajar arti keberanian yang tidak gaduh, dan kebenaran yang tidak butuh panggung.” tambahnya.

Suasana malam itu tenang, tanpa seremoni berlebihan. Doa mengalir khusyuk, dibacakan bersama. Wajah-wajah yang hadir menunjukkan duka yang belum benar-benar pulih — karena kehilangan yang dalam biasanya datang bukan dari kepergian orang besar, tapi dari hilangnya sosok yang diam-diam menjadi sandaran banyak hati.

Bagi warga desa Madureso, almarhum bukan hanya kepala keluarga, tetapi figur yang kerap hadir saat diperlukan — tanpa pamrih, tanpa pamitan. Ia memilih jalan sunyi untuk membantu, tapi jejaknya terasa jelas di banyak sudut kehidupan.

Kini, 40 hari setelah kepergiannya, yang tertinggal bukan hanya ingatan — tapi semacam kompas moral. Tentang bagaimana hidup tidak harus keras untuk menjadi tegas, dan tidak perlu bising untuk menjadi berarti.

Romo H. Mudjito mungkin telah tiada, tapi keteladanannya masih berbicara dalam diam.

By Man