Bengkulu// mediainfopol.com/26 September 2024 – Dalam suasana yang dipenuhi ketegangan politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi terhadap Undang-Undang Pilkada yang diajukan oleh tim hukum pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Bengkulu, Helmi-Mian. Persidangan ini dihadiri oleh tiga hakim konstitusi terkemuka, yakni Ketua Majelis Hakim Ridwan Mansyur, SH. MH, serta dua anggota, Enny Nurbaningsih, SH. MH, dan Saldi Isra, SH. MH.
Gugatan ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap konstelasi politik di Provinsi Bengkulu. Helmi Hasan dan Muslihan Diding Soetrisno (Mian), dua tokoh politik yang menjadi pesaing kuat dalam Pilkada 2024, melalui tim hukum mereka menantang keabsahan pencalonan petahana, Rohidin Mersyah dan Meriani. Petahana tersebut diduga telah melanggar batas maksimal masa jabatan dua periode yang diamanatkan dalam konstitusi, sehingga menurut kubu Helmi-Mian, Rohidin dan Meriani seharusnya tidak layak untuk mencalonkan diri lagi.
Dalam pembacaan gugatan, Agustam Rahcman selaku perwakilan tim hukum Helmi-Mian menegaskan bahwa pencalonan kembali Rohidin dan Meriani bertentangan dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. “Jika gugatan kami dikabulkan, maka pasangan Rohidin dan Meriani secara otomatis gugur dari kontestasi Pilkada 2024. Ini merujuk pada putusan MK No. 22/2009, No. 67/2020, dan No. 2/2023, yang menegaskan bahwa masa jabatan kepala daerah dibatasi hingga dua periode,” jelas Agustam di hadapan majelis hakim.
Gugatan ini tidak hanya berpotensi mengubah jalannya Pilkada di Provinsi Bengkulu, namun juga memberikan dampak lebih luas pada praktik demokrasi lokal. Pasangan Rohidin-Meriani, yang didukung oleh koalisi partai politik besar, dianggap memiliki peluang kuat untuk kembali memimpin Bengkulu. Namun, jika MK memutuskan untuk menerima gugatan ini, pasangan tersebut akan dicoret dari bursa pencalonan, dan peta persaingan akan berubah drastis.
Dalam beberapa pekan terakhir, isu masa jabatan petahana menjadi topik hangat di kalangan politisi dan pengamat hukum. Pasal dalam UU Pilkada yang membatasi masa jabatan kepala daerah hingga dua periode memang sudah lama menjadi polemik. Di satu sisi, ada pihak yang berpendapat bahwa pemimpin yang sudah menjabat dua periode tetap bisa maju jika periode itu tidak berturut-turut. Di sisi lain, ada pandangan yang lebih ketat seperti yang dibawa oleh kubu Helmi-Mian, yang menganggap bahwa pencalonan kembali tanpa jeda adalah pelanggaran konstitusi.
Sidang perdana ini mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan, termasuk politisi, akademisi, dan aktivis masyarakat sipil. Rohidin, sebagai gubernur petahana, telah menjadi figur sentral dalam pembangunan Bengkulu selama dua periode terakhir, dan pencalonannya kembali dipandang sebagai perpanjangan dari visi yang sudah ia bangun. Namun, kritik juga muncul terkait perlunya regenerasi kepemimpinan dan pembatasan masa jabatan untuk menjaga kesegaran politik lokal.
Sejumlah analis politik memprediksi bahwa jika MK mengabulkan gugatan ini, akan terjadi perubahan besar dalam strategi politik partai-partai pendukung petahana. Koalisi politik yang selama ini mendukung Rohidin-Meriani mungkin harus mencari calon alternatif yang bisa mewakili kepentingan mereka dalam waktu yang sangat singkat sebelum hari pemungutan suara.
Sementara itu, Helmi-Mian, yang selama ini dikenal sebagai oposisi kuat di Bengkulu, berusaha memanfaatkan momen ini untuk memperkuat basis dukungan mereka. Jika Rohidin dan Meriani benar-benar gugur, peluang pasangan ini untuk memenangkan Pilkada semakin terbuka lebar.
Keputusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan ini akan menjadi salah satu momen penentu dalam Pilkada Bengkulu 2024. Apapun hasilnya, MK diharapkan dapat memberikan keputusan yang berdasarkan pada prinsip keadilan dan konstitusi, demi menjaga integritas demokrasi di Indonesia.
Sidang ini masih akan berlanjut dengan pembahasan materi yang lebih mendalam dalam beberapa waktu ke depan. Semua pihak kini menantikan dengan penuh perhatian bagaimana MK akan menafsirkan aturan pembatasan masa jabatan ini, dan dampaknya terhadap masa depan politik di Bengkulu.
( M.Harus ak)